Terorisme, radikalisme dan hoaks menjadi salah satu ancaman nyata yang dihadapi masyarakat di tengah kemajuan teknologi yang sangat pesat. Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari mengatakan, pers harus berperan aktif mencegah radikalisme dan terorisme karena merupakan kejahatan luar biasa. "Radikalisme dapat direduksi jika media massa menghindari posisi intensifier of conflict (penguat konflik)," kata Atal dalam webinar bertajuk Peranan Media dalam Menghadapi Radikalisme dan Hoax, Selasa (26/1/2021).
Dikatakannya, saat terjadi perbedaan pandangan di lingkungan masyarakat, media jangan ikut memanas manasi atau berpihak pada suatu pihak. Atal menambahkan, saat ini media juga harus menjadi pengecek fakta alias fact checker dan sumber informasi yang lebih valid dibandingkan media sosial (medsos). “Media harus memverifikasi atau membandingkannya dengan berita yang sama dari sumber yang berbeda,” katanya.
Media diminta untuk tidak melakukan glorifikasi dalam pemberitaan tetapi memilih diksi yang lembut dan tidak menyudutkan pihak pihak tertentu. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, teroris terkadang memanfaatkan pemberitaan media massa untuk menebarkan ketakutan. "Bahkan mereka memanfaatkan media untuk mendelegetimasi penegak hukum," kata Agus.
Untuk itu, kata pers atau media diimbau menjalankan tugasnya sesuai kode etik jurnalistik. “Jurnalisme sarana untuk mencapai tujuan kemanusiaan dan keadilan,” tutur Agus. Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis mengatakan, saat ini informasi menjadi kebutuhan utama masyarakat namun tidak semua informasi itu benar dan valid sehingga media memiliki peran yang sangat penting.
“Media bertugas meluruskan dan media yang independen bisa menjadi rujukan,” katanya.